TEORI DAN SISTEMATIKA ETIKA BISNIS
Sistem etika Islam secara umum memiliki perbedaan mendasar
dibanding sistem etika barat. Pemaparan pemikiran yang melahirkan sistem etika
di Barat cenderung memperlihatkan perjalanan yang dinamis dengan cirinya
yang berubah-ubah dan bersifat sementara sesuai dinamika peradaban yang
dominan.
Lahirnya pemikiran etika biasanya didasarkan pada pengalaman
dan nilai-nilai yang diyakini para pencetusnya. Pengaruh ajaran agama kepada
model etika di Barat justru menciptakan ekstremitas baru dimana cenderung
merenggut manusia dan keterlibatan duniawi dibandingkan sudut lain yang sangat
mengemukakan rasionalisme dan keduniawian.
Sedangkan dalam Islam mengajarkan kesatuan hubungan antar
manusia dengan Penciptanya. Kehidupan totalitas duniawi dan ukhrawi dengan
berdasarkan sumber utama yang jelas yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
1. Etika
Dalam Perspektif Barat
Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang akan
dibahas, antara lain :
a. Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart
Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama,
konsepUtility (manfaat) yang kemudian disebut Utilitarianisme. artinya,
pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini dengan menggunakan
pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya. Dengan
kata lain, sesuatu yang dinilai benar adalah sesuatu yang memaksimalisasi apa
yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi banyak pihak. Maka,
sesuatu itu dinilai sebagai perbuatan etis ketika sesuatu itu semakin
bermanfaat bagi banyak orang.
Dan kedua, teori Keadilan Distribusi (Distribitive Justice)
atau keadilan yang berdasarkan pada konsep Fairness. Inti dari teori ini adalah
perbuatan itu dinilai etis apabila menjunjung keadilan distribusi barang dan
jasa berdasarkan pada konsep Fairness. Yakni konsep yang memiliki nilai dasar
keadilan.
Dalam hal ini, suatu perbuatan sangat beretika apabila
berakibat pada pemerataan atau kesamaan kesejahteraan dan beban, sehingga konsep
ini berfokus pada metode distribusinya. Distribusi sesuai bagiannya,
kebutuhannya, usahanya, sumbangan sosialnya dan sesuai jasanya, dengan ukuran
hasil yang dapat meningkatkan kerjasama antar anggota masyarakat.
b. Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan
bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip
universal, bukan “hasil” atau “konsekuensi” seperti yang ada dalam teori
teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti suatu prinsip
yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Dalam teori ini terdapat dua konsep, yaitu : Pertama, Teori
Keutamaan (Virtue Ethics). Dasar dari teori ini bukanlah aturan atau prinsip
yang secara universal benar atau diterima, akan tetapi apa yang paling baik
bagi manusia untuk hidup. Dasar dari teori ini adalah tidak menyoroti perbuatan
manusia saja, akan tetapi seluruh manusia sebagai pelaku moral. Memandang sikap
dan akhlak seseorang yang adil, jujur, mura hati, dsb sebagai keseluruhan.
Kedua, Hukum Abadi (Eternal Law), dasar dari teori ini
adalah bahwa perbuatan etis harus didasarkan pada ajaran kitab suci dan alam.
c. Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
· Personal
Libertarianism
Dikembangkan oleh Robert Nozick, dimana perbuatan etikal
diukur bukan dengan keadilan distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau
kesamaan kesempatan bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui)
untuk kemakmuran mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur
dari maksimalisasi kebebasan individu.
· Ethical
Egoism
Dalam teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu
dilakukan sesuai dengan keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini
bukan harus berupa barang atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga
bahagia, pekerjaan yang baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil
keputusan.
· Existentialism
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul Sartre.
Menurutnya, standar perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada
perbuatan yang benar-benar salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya.
Setiap orang dapat memilih prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa
yang ia inginkan dirinya menjadi.
· Relativism
Teori ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif,
jawaban dari etika itu tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini
adalah bahwa tidak ada kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis.
Setiap individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya
dan negara.
· Teori
Hak (right)
Nilai dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan.
Perbuatan etis harus didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih.
Setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2. Etika dalam Perpektif Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai
bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan
manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat
meletakkan “Akal” sebagai dasar kebenarannya. Maka, Islam meletakkan
“Al-Qur’an” sebagai dasar kebenaran.
KETENTUAN UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
a) Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan
dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim
baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen,
serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari
konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi
terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat
penting dalam sistem Islam.
b) Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis,
dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk
membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk
dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut,
karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan
kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan
jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan
timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S.
al-Isra’: 35).
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam
mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8 yang artinya :
“Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
c) Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis
islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan
individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong
manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang
dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan
pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap
individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
d) Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil
dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan
akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu
mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini berhubungan erat
dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan
oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
e) Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna
kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan
kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan
perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau
memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau
menetapkan keuntungan.
Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat
menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu
pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.